Oleh SBS Sholawat
Tradisi tahlilan merupakan salah satu bentuk praktik keagamaan yang populer di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya yang mengikuti tradisi Islam Nusantara. Tradisi ini melibatkan doa bersama, dzikir, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, dan kadang-kadang ceramah keagamaan yang dilakukan pada momen tertentu, seperti memperingati hari wafat seseorang. Namun, pandangan mengenai tahlilan tidak seragam di Indonesia, karena organisasi masyarakat Islam (ormas Islam) memiliki interpretasi yang berbeda terhadap praktik ini, tergantung pada pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Artikel ini menguraikan pandangan berbagai ormas Islam terhadap tradisi tahlilan, mulai dari yang mendukung hingga yang mengkritiknya.
1. Latar Belakang Tradisi Tahlilan
Tahlilan adalah tradisi keagamaan yang berasal dari akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal Nusantara. Praktik ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu setelah seseorang wafat, seperti hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Tahlilan bertujuan untuk mendoakan almarhum agar mendapatkan ampunan Allah dan tempat yang layak di akhirat.
Dalam tahlilan, dzikir seperti kalimat "La ilaha illallah", pembacaan surat-surat tertentu dari Al-Qur’an (misalnya Yasin), dan doa bersama menjadi bagian utamanya. Ada juga tradisi jamuan makanan setelah acara, sebagai bentuk sedekah dari keluarga almarhum.
Namun, tradisi ini menimbulkan perdebatan, terutama terkait statusnya dalam syariat Islam. Beberapa pihak menganggapnya sebagai bid’ah, sementara yang lain memandangnya sebagai tradisi baik yang dapat memperkuat ukhuwah Islamiyah dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Pandangan NU terhadap Tahlilan
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, mendukung tradisi tahlilan. Bagi NU, tahlilan adalah bagian dari tradisi Islam Nusantara yang telah berkembang sejalan dengan ajaran Islam. NU melihat tahlilan sebagai bentuk amalan yang baik, dengan landasan sebagai berikut:
Amalan Mendoakan Orang Meninggal
NU merujuk pada sejumlah hadits yang menyebutkan pentingnya mendoakan orang yang telah meninggal. Dalam tahlilan, pembacaan doa dan ayat-ayat Al-Qur’an dianggap sebagai bentuk amal yang pahalanya bisa disampaikan kepada almarhum (istighfar dan doa untuk mayit).
Memperkuat Silaturahmi
Tahlilan juga dianggap sebagai cara mempererat hubungan keluarga dan masyarakat. Momen ini menjadi sarana bagi keluarga almarhum untuk mendapatkan dukungan emosional dan spiritual dari komunitas sekitar.
Toleransi Budaya
NU memandang tradisi lokal seperti tahlilan sebagai bentuk harmoni antara Islam dan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Dalam pandangan ini, Islam Nusantara yang diusung NU mengakomodasi tradisi seperti tahlilan, tanpa mengabaikan nilai-nilai syariat.
NU dengan tegas menolak pandangan yang menyebut tahlilan sebagai bid’ah yang sesat. Mereka menekankan bahwa bid’ah yang dilarang adalah inovasi yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam, sedangkan tahlilan tidak masuk dalam kategori tersebut.
3. Pandangan Muhammadiyah terhadap Tahlilan
Muhammadiyah, sebagai salah satu ormas Islam besar di Indonesia, memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum, Muhammadiyah tidak mendukung tradisi tahlilan, meskipun tidak secara eksplisit melarangnya. Beberapa poin pandangan Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
Prinsip Tajdid (Pembaruan)
Muhammadiyah berpegang pada prinsip pembaruan, yang bertujuan membersihkan ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki landasan syariat yang jelas. Tahlilan dianggap sebagai tradisi yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW, sehingga Muhammadiyah mengklasifikasikannya sebagai bid’ah.
Doa Bersifat Personal
Muhammadiyah menganjurkan doa untuk orang yang telah meninggal dilakukan secara individu, bukan melalui acara kolektif seperti tahlilan. Menurut pandangan mereka, ibadah yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW atau para sahabatnya tidak perlu dilakukan, meskipun bertujuan baik.
Menghindari Pemborosan
Tradisi tahlilan yang sering melibatkan jamuan makan dianggap dapat membebani keluarga almarhum, terutama jika mereka berasal dari kalangan ekonomi lemah. Muhammadiyah lebih menekankan pengeluaran untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung, seperti sedekah atau amal jariyah.
Namun, Muhammadiyah tidak secara agresif menentang tahlilan. Mereka lebih mengedepankan pendekatan pendidikan dan dakwah untuk mengarahkan masyarakat kepada praktik-praktik yang dianggap lebih sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Pandangan Persis terhadap Tahlilan
Persatuan Islam (Persis), sebuah ormas Islam yang juga memiliki akar pembaruan, bersikap lebih tegas terhadap tahlilan. Persis menolak tradisi ini dengan alasan bahwa:
Tidak Diajarkan Rasulullah
Persis menganggap tahlilan tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an maupun hadits, sehingga tidak bisa dianggap sebagai bagian dari syariat Islam.
Kemurnian Tauhid
Persis khawatir tradisi seperti tahlilan dapat membawa umat pada keyakinan yang keliru, seperti mempercayai bahwa doa tertentu memiliki kekuatan khusus untuk menyelamatkan seseorang di akhirat, padahal yang menentukan adalah amal individu dan rahmat Allah.
Efisiensi Ibadah
Persis menekankan pentingnya beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, tanpa menambah atau mengurangi. Dalam pandangan mereka, tahlilan termasuk bentuk inovasi dalam agama yang tidak diperlukan.
Seperti Muhammadiyah, Persis lebih memilih pendekatan pendidikan dan dialog untuk menyampaikan kritiknya terhadap tradisi tahlilan.
5. Pandangan Ormas Islam Lain
Selain NU, Muhammadiyah, dan Persis, terdapat berbagai ormas Islam lain yang memiliki pandangan beragam terhadap tahlilan:
Front Pembela Islam (FPI)
Sebelum pembubaran FPI pada 2020, organisasi ini cenderung mendukung tradisi keagamaan yang berbasis masyarakat, termasuk tahlilan, selama tidak disertai dengan praktik yang dianggap bertentangan dengan syariat, seperti kemewahan atau pemborosan.
Lembaga Dakwah Salafi
Kelompok Salafi secara umum menentang tahlilan. Mereka menganggap tradisi ini sebagai bid’ah dan mengajak umat untuk kembali kepada praktik Islam yang murni, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Al-Irsyad Al-Islamiyah
Al-Irsyad, yang memiliki akar pembaruan seperti Muhammadiyah, juga menolak tahlilan. Mereka mendorong umat untuk menghindari tradisi-tradisi yang dianggap tidak memiliki landasan syariat.
6. Perspektif Sosial-Budaya
Meskipun ada perbedaan pandangan teologis, tradisi tahlilan tetap bertahan sebagai bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bagi banyak orang, tahlilan bukan hanya praktik keagamaan, tetapi juga tradisi sosial yang mempererat hubungan antarindividu dalam komunitas.
Simbol Solidaritas
Tahlilan menjadi momen bagi keluarga yang ditinggalkan untuk menerima dukungan moral dari tetangga dan kerabat. Hal ini mencerminkan semangat gotong-royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Pemersatu di Tengah Perbedaan
Tradisi tahlilan sering kali menjadi ruang inklusif yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, tanpa memandang aliran atau ormas keagamaan.
Pelestarian Budaya Islam Nusantara
Bagi pendukung tahlilan, tradisi ini adalah bagian dari warisan Islam Nusantara yang unik dan kaya. Meskipun berbeda dari praktik di negara-negara lain, tahlilan tetap dianggap sebagai bentuk ekspresi keislaman yang sah.
Kesimpulan
Pandangan ormas Islam terhadap tradisi tahlilan di Indonesia mencerminkan keberagaman pemahaman dalam Islam. NU melihatnya sebagai tradisi positif yang memperkuat spiritualitas dan solidaritas umat, sedangkan Muhammadiyah, Persis, dan kelompok Salafi cenderung menolak tahlilan karena dianggap tidak memiliki landasan syariat. Perbedaan ini sering kali menjadi tantangan, tetapi juga peluang untuk mendorong dialog dan saling menghormati.
Tradisi tahlilan menunjukkan bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensi ajarannya. Selama dilakukan dengan niat yang baik dan tanpa bertentangan dengan prinsip dasar Islam, tahlilan tetap memiliki tempat di hati sebagian besar umat Islam Indonesia.
Comments
Post a Comment